loading...
Defisit APBN di 2024 mencapai 2,29% terhadap produk domestik bruto (PDB), Menkeu Sri Mulyani Indrawati bilang sesuai dengan desain awal. Foto/Dok
JAKARTA - Defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) di 2024 mencapai 2,29% terhadap produk domestik bruto (PDB). Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit tersebut bisa dikatakan sama seperti yang ditargetkan pemerintah dalam UU APBN 2024 .
Adapun pemerintah dalam Laporan Semester sempat memperkirakan defisit melebar hingga 2,70 persen PDB.
"Di sisi penerimaan mulai membaik, defisit APBN pada akhirnya terjaga turun pada level yang sama dengan defisit yang kita desain awal yaitu 2,29 persen," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN 2024, Senin (6/1/2025).
Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah dalam APBN 2024 merancang defisit senilai Rp522,82 triliun atau 2,29% PDB. Sementara outlook defisit anggaran 2024 yang disampaikan dalam Laporan Semester I 2024 kepada DPR dan kabinet adalah Rp609,7 triliun atau 2,70% dari PDB.
Menkeu menjelaskan, terdapat berbagai tantangan yang terjadi pada semester I 2024 sehingga berdampak pada kontraksi penerimaan negara. Penerimaan negara pada saat itu tercatat mengalami kontraksi sebesar 6,2%.
Di sisi lain, terdapat kenaikan kebutuhan belanja negara untuk meredam dampak guncangan terhadap ekonomi dan melindungi daya beli masyarakat.
Beberapa tantangan yang terjadi pada semester I 2024 antara lain akibat situasi geopolitik yang memanas, perlambatan ekonomi China, kenaikan harga minyak, serta fenomena el nino. Pada situasi tersebut, inflasi Indonesia meningkat, nilai tukar rupiah melemah, serta yield SBN mengalami kenaikan.
Memasuki semester II 2024, Sri Mulyani menyebut kinerja ekonomi global mulai membaik seiring dengan respons kebijakan di berbagai negara walaupun eskalasi perang di Timur Tengah belum menurun.
Pada semester II 2024, tekanan harga minyak telah mereda, serta terjadi peningkatan harga komoditas andalan ekspor Indonesia seperti batu bara, nikel, dan minyak kelapa sawit. Penerimaan negara pun mampu tumbuh sebesar 2,1%, yield SBN lebih kompetitif, inflasi terkendali, serta tekanan terhadap rupiah mereda.
(akr)