loading...
Pendapatan Mesir dari Terusan Suez turun lebih dari 60% pada sepanjang tahun 2024 di tengah ketegangan Laut Merah, yang mengakibatkan kerugian hampir USD7 miliar atau setara Rp112,1 triliun. Foto/Dok Forbes
JAKARTA - Pendapatan Mesir dari Terusan Suez turun lebih dari 60% pada sepanjang tahun 2024 di tengah ketegangan Laut Merah , yang mengakibatkan kerugian hampir USD7 miliar atau setara Rp112,1 triliun (dengan kurs Rp16.018 per USD). Diketahui ketegangan di Laut Merah telah meningkat karena serangan Houthi terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel, AS, dan Inggris di dekat Selat Bab el-Mandeb yang strategis.
Pendapatan Terusan Suez turun 23,4% pada tahun fiskal 2023/2024 yang berakhir pada 30 Juni, menjadi USD7,2 miliar. Sebelumnya Presiden Abdel Fattah El-Sisi diberitahu tentang langkah-langkah yang diambil oleh Otoritas Terusan Suez untuk mengatasi tantangan yang diakibatkan oleh situasi di Laut Merah dan Selat Bab el-Mandab.
Juru bicara kepresidenan Mesir, Mohamed El-Shennawy mengatakan, dalam sebuah pernyataann resmi bahwa pertemuan tersebut membahas proyek-proyek yang sedang berlangsung untuk memodernisasi Terusan Suez. Termasuk di dalamnya penyelesaian proyek sektor selatan, untuk meningkatkan signifikansi globalnya dan memfasilitasi perjalanan kapal yang lebih besar.
"Ini termasuk memperluas saluran navigasi kanal dari 132 km menjadi 162 km dan menyelesaikan duplikasi penuh saluran navigasi dari 122 km menjadi 132 km," jelas Mohamed El-Shennawy seperti dilansir Forbes.
Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat meningkatkan volume pengiriman dan mempercepat pergerakan kapal di kedua arah.
Sebelumnya pada awal tahun 2024, Pengiriman barang melalui kapal yang melewati Terusan Suez sudah terlihat anjlok sebesar 45% dalam dua bulan sejak serangan pejuang Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Serangan tersebut memaksa perusahaan pelayaran mengalihkan pengiriman melalui jalur lain yang dirasa lebih aman.
Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan, krisis ini mengirimkan gelombang kejut pada rantai pasokan global. Kepala Logistik Perdagangan di UNCTAD Jan Hoffmann memperingatkan, biaya pengiriman telah melonjak dan berdampak pada naiknya biaya energi serta makanan yang mengerek risiko inflasi global.
(akr)