loading...
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menggelontorkan anggaran sebesar Rp265,6 triliun untuk program insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2025. Foto/Dok
JAKARTA - Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati menggelontorkan anggaran sebesar Rp265,6 triliun untuk program insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2025. Menurut Menkeu, kebijakan insentif tersebut sebagai upaya untuk melindungi daya beli masyarakat dan perekonomian saat PPN naik jadi 12% tahun depan.
"Pemerintah memberikan stimulus dalam bentuk bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah (bantuan pangan, diskon listrik 50 persen, dan lain-lain), serta insentif perpajakan seperti, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM; Insentif PPh 21 DTP untuk industri pada karya; serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 T untuk tahun 2025 (khusus PPN saja)," ungkap Menkeu Sri Mulyani di Instagram resminya, Senin (16/12/2024).
Menkeu menegaskan, bahwa beberapa Menteri dan pimpinan lembaga mendampingi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan.
Bendahara Negara ini juga menekankan pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong; kelompok yang mampu membayar lebih besar, sementara yang kurang mampu dilindungi atau bahkan diberikan bantuan (insentif).
"Prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif dan tetap mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat," kata dia.
Selain itu, lanjut Menkeu, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0 persen).
Adapun barang yang seharusnya membayar PPN 12% antara lain tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar 1 persen akan dibayar oleh Pemerintah (DTP).
Penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah, seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
"Pemerintah akan terus mendengar berbagai masukan. Semoga dengan berbagai upaya ini, kita mampu terus menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, melindungi masyarakat, serta menjaga kesehatan dan keberlanjutan APBN," pungkas Sri Mulyani.
(akr)