loading...
Tutupnya ratusan gerai Alfamart menjadi sorotan Pakar Marketing dan Founding Chairman Indonesia Brand Forum (IBF), Yuswohady. Ia membandingkan kinerja Alfamart dengan Warung Madura (Warmad). Foto/Dok
JAKARTA - Penurunan daya beli kelas menengah (berdasarkan survei Inventure, September 2024) mulai memakan korban, ketika ritel modern, Alfamart dikabarkan menutup sekitar 400 gerainya. Sebelumnya pihak dari PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) menerangkan, alasan penutupan ratusan gerai itu karena mahalnya harga sewa.
Kinerja Alfamart menjadi sorotan Pakar Marketing dan Founding Chairman Indonesia Brand Forum (IBF), Yuswohady . Ia membandingkan kinerja Alfamart dengan Warung Madura (Warmad) yang kini justru makin agresif berekspansi.
Terkait fenomena ini, Yuswohady memberikan 2 hal menarik yang bisa dicatat.
1. Kalah Efisien
Alfamart dinilai kalah efisien dibanding Warung Madura dari sisi pengoperasian gerai. "Gerai Alfamart selalu mengambil tempat di lokasi-lokasi strategis dan jalan utama dengan biaya sewa yang kelewat mahal. Semakin laris gerai tersebut, harga sewanya semakin dinaikkan berlipat-lipat. Bahkan konon mencapai 1000%," terangnya.
Sementara Warmad memiliki keunggulan kompetitif karena mengambil lokasi di kampung-kampung dan ujung-ujung gang padat penduduk dan pinggiran kota dengan biaya sewa lebih murah. Bahkan tidak sedikit Warmad biaya sewanya nol, karena gerainya menggunakan lahan dan bangunan sendiri.
2. Kalah Adaptif
Yuswohady menerangkan, dengan adanya goncangan ekonomi seperti resesi atau turunnya daya beli, Warmad lebih kenyal dan adaptif menghadapinya karena model operasinya yang unik.
"Operasi gerai yang otonom tidak seperti Alfamart yang tersentral, harga lebih fleksibel, kedekatan dgn komunitas, jam operasional lebih panjang, margin kecil namun volume tinggi, lampu penerangan yang efisien, hingga biaya tenaga kerja yang minimal," bebernya.
Maka, dengan model operasi yang rendah overhead seperti itu, Warmad bisa "memainkan" faktor tersebut sehingga lebih lentur merespon perubahan-perubahan eksternal seperti anjloknya daya beli.
Pada akhirnya, Yuswohady memberikan catatan bahwa manajemen berbasis kearifan lokal, tak selalu kalah dengan manajemen model Barat.
(akr)