Surabaya, Timurpos.co.id — Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) merilis hasil Sensus Sampah Plastik, audit sampah plastik terbesar dan paling komprehensif yang pernah dilakukan di Indonesia. Kegiatan ini melibatkan 156 mitra, 976 relawan, dan menjaring 76.899 sampah plastik dari 92 lokasi di 49 kabupaten/kota di 30 provinsi selama periode 2022–2024.
Koordinator Sensus, Muhammad Kholid Basyaiban, SH, menyatakan bahwa hasil audit membuktikan pencemaran plastik di perairan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. “Kami mengambil sampel dari 35 sungai, 17 pantai, dan 2 titik mangrove. Hasilnya, tidak ada satu pun sungai yang benar-benar bebas dari sampah plastik, yang seharusnya jadi perhatian serius sesuai PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang PPLH,” ungkap Kholid. Kamis (26/06/2025).
Data lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar sampah plastik berasal dari kemasan sachet sekali pakai, kantong kresek, dan botol minuman. BRUIN juga membeberkan lima besar produsen yang paling banyak mencemari lingkungan berdasarkan merek yang ditemukan, yakni:
Unbranded (234 item) – kantong plastik, sedotan, styrofoam, dan cup tanpa merek
Wings (114 item) – produk seperti So Klin, Sedaap, Mama Lime, Ale-ale, Teh Rio
Indofood (Fx) – produk Indomie, Pop Mie, Club, Bumbu Racik
Mayora (74 item) – Teh Pucuk Harum, Energen, Roma, Kopiko
Unilever (64 item) – Royco, Rinso, Sunsilk, Sunlight
Melalui laporan bertajuk “Sensus Sampah Plastik: Mengungkap Fakta, Menggerakkan Aksi,” BRUIN menyerukan agar para produsen bertanggung jawab atas sampah pascakonsumsi dan berkontribusi nyata dalam pengurangan sampah hingga 30 kali lipat pada tahun 2029, sebagaimana target yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Namun, BRUIN menilai regulasi tersebut belum berjalan efektif. Partisipasi produsen masih minim, pengawasan lemah, dan belum ada sanksi tegas bagi pelanggar. Alih-alih mengganti kemasan ke bentuk ramah lingkungan, banyak produsen justru hanya melakukan modifikasi tanpa mengurangi dampak polusi plastik.
Kepala Departemen Teknik Lingkungan ITS, Dr. Susi Agustina Wilujeng, ST., MT, menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar justru ada pada produsen, bukan semata pada konsumen. “Jangan hanya berharap pada perubahan perilaku konsumen. Harus ada kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggung jawab,” tegasnya.
Senada, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq, saat membuka Pameran Lingkungan Hidup bertema “End Plastic Pollution” (22/6), menyatakan bahwa pemerintah akan memperkuat sistem hukum yang mewajibkan implementasi EPR (Extended Producer Responsibility), lengkap dengan sanksi administratif hingga pidana.
BRUIN dalam laporannya juga menyampaikan 6 strategi utama untuk memutus rantai pencemaran plastik:
Larangan plastik sekali pakai sulit daur ulang seperti sachet Penerapan sistem reuse dan pengurangan kemasanPajak disinsentif untuk produk sekali pakaiInsentif bagi inovasi kemasan berkelanjutanPengadaan hijau oleh pemerintah dan industri Implementasi tegas skema EPR. “Perang melawan polusi plastik harus dimulai sekarang,” seru Kholid.
“Kami berharap hasil sensus ini membuka mata semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat—bahwa krisis plastik nyata, dan penanganannya harus dimulai dari sumbernya.”katanya. ***
Jumlah Pengunjung 21