Foto: Tim kuasa hukum Vinna yang dipimpin Bangkit Mahanantiyo
Surabaya, Timurpos.co.id – Vinna Natalia Wimpie Widjojo, seorang ibu rumah tangga yang dilaporkan suaminya, menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya atas dakwaan melakukan kekerasan psikis. Ia didakwa melanggar Pasal 45 ayat (1) atau Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim S Pujiono digelar tertutup dengan agenda pembacaan eksepsi di ruang Kartika.
Tim kuasa hukum Vinna yang dipimpin Bangkit Mahanantiyo mengajukan eksepsi (keberatan) atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mosleh Rahman dari Kejaksaan Negeri Surabaya Menurutnya, dakwaan yang disusun JPU tidak bisa diterima, atau setidaknya batal demi hukum.
Ada tiga poin utama yang disampaikan, yaitu:
1. Cacat Formil dan Materil
Surat dakwaan dianggap tidak jelas menentukan waktu kejadian (tempus delicti) karena terdapat perbedaan antara 15 Desember 2023 dengan 18 September 2024.
2. Dakwaan Kabur (Obscuur Libel)
Bahwa dalam saksi Sena Sanjaya Tanata Kusuma telah memenuhi akta perdamaian dengan membayar uang sejumlah Rp.2 juta dan Rp.75 juta, namun Terdakwa tetap mengajukan cerai, hal demikian menimbulkan kecemasan dan seolah-olah Terdakwa telah melakukan kekerasan psikis terhadap Sena. Dengan diajukannya perkara ini ke ranah pidana, menunjukkan adanya kesesatan berpikir, mengapa? Tidak terpenuhinya prestasi para pihak telah diatur dalam Pasal 4 Akta Perdamaian.
Perkara seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana, karena terkait akta perdamaian yang telah disepakati di Polrestabes Surabaya. Selain itu, dakwaan dinilai tidak lengkap dan tidak menggambarkan fakta sebenarnya.
3.Daluwarsa Penuntutan
Laporan baru dibuat pada 21 November 2024, padahal menurut KUHP pengaduan hanya bisa dilakukan maksimal 6 bulan setelah peristiwa diketahui.
“Dengan adanya cacat formil, dakwaan kabur, hingga daluwarsa penuntutan, maka cukup beralasan hukum bila dakwaan JPU ditolak,” tegas Bangkit.
Selain mengajukan eksepsi, pihak Vinna juga meminta kepada Ketua Majelis Hakim, S. Pujiono agar sidang digelar terbuka untuk umum. Alasannya, dakwaan yang disangkakan bukan kekerasan seksual, sehingga tidak ada dasar hukum untuk dilakukan secara tertutup.
“Berdasarkan SEMA No. 5 Tahun 2021 hanya mengatur sidang tertutup untuk perkara KDRT yang mengandung unsur kekerasan seksual dan Dalam kasus ini, korban maupun pelaku bukan anak, sehingga tidak ada alasan hukum untuk menutup sidang. Dasar akhirnya: apa yang tidak dilarang hukum, boleh dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali).” Tegasnya.
Dalam surat dakwaan JPU, perkara ini bermula adanya konflik rumah tangga pasangan ini bermula sejak pernikahan pada 12 Februari 2012 di Gereja Katolik Santo Yohanes Pemandi, Surabaya. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga anak. Namun, hubungan keduanya kerap diwarnai pertengkaran hingga memuncak pada Desember 2023, ketika Vinna meninggalkan rumah dan menolak kembali meski telah diminta oleh suaminya.
Bahkan, Vinna melaporkan Sena ke polisi atas dugaan KDRT serta mengajukan gugatan cerai ke PN Surabaya. Dalam upaya mempertahankan rumah tangga, Sena memberikan kompensasi berupa uang Rp2 miliar, biaya bulanan Rp75 juta, serta sebuah rumah senilai Rp5 miliar, dengan syarat laporan polisi dan gugatan cerai dicabut. Namun setelah menerima uang dan aset, Vinna tetap tidak kembali dan kembali mengajukan gugatan cerai baru pada 31 Oktober 2024.
Konflik berkepanjangan itu membuat Sena mengalami tekanan batin. Hasil pemeriksaan psikiatri RS Bhayangkara Surabaya pada 22 Februari 2025 menyebutkan bahwa Sena mengalami gangguan campuran cemas dan depresi akibat persoalan rumah tangga tersebut.TOK
Jumlah Pengunjung 40