Kenaikan Pungutan Ekspor CPO, SPKS: Memberatkan Petani Sawit

3 days ago 10

loading...

Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin mengatakan menaikan tarif PE CPO menjadi 10% akan sangat merugikan petani sawit. Foto/Dok. SINDOnews

JAKARTA - Pemerintah akan menaikan pungutan Ekspor (PE) crude palm oil ( CPO ) dari 7,5% menjadi 10% berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan. Kebijakan ini dinilai tidak memikirkan dampak pada petani sawit .

Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin mengatakan menaikan tarif PE CPO menjadi 10%, bukanlah opsi pilihan terbaik. Kenaikan pungutan PE akan sangat merugikan petani sawit.

Baca Juga

Indonesia Temukan Varietas Sawit dengan Potensi Produksi CPO Tinggi

Berdasarkan penelusuran SPKS selama ini, setiap beban ekonomi termasuk pajak dan pungutan ekspor , yang dibebankan kepada perdagangan CPO akan diteruskan hingga petani kelapa sawit sebagai mata rantai ekonomi terendah. “Kami memperkirakan dengan kenaikan tarif PE sebesar 2,5% ini, akan terjadi penurunan harga di TBS petani kelapa sawit berkisar Rp.300 hingga Rp. 500 per kg TBS,” katanya dalam siaran pers, Selasa (31/12/2024).

Menurut Sabarudin, PE selama ini dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dengan penggunaan sebesar 90% untuk subsidi perusahaan-perusahan yang ditugaskan untuk memproduksi biodiesel. Sehingga sebenarnya yang diuntungkan dengan pungutan ekspor itu hanya perusahan-perusahan yang bermain di industri biodiesel, sementara petani sawit di korbankan dengan penurunan harga TBS.

Dengan adanya kenaikan pungutan ekspor CPO dalam jangka pendek, petani akan kesulitan melakukan praktik budi daya terbaik. Ini karena mereka tidak mampu membeli pupuk dengan harga yang tinggi sementara harga TBS rendah. Termasuk perawatan tanaman tidak akan maksimal karena harga yang terus naik.

Akibat jangka panjang, perkebunan kelapa sawit milik petani akan terbengkalai dan tidak terawat. Produktivitas petani sawit akan rendah, dampaknya juga rendahnya produksi TBS dari petani sawit yang akan berdampak pada bahan baku dari program biodiesel yang membutuhkan bahan baku yang semakin besar.

Selain itu akan berdampak pada penerapan sertifikasi ISPO yang juga menjadi program dari pemerintah. “Bak buah simalakama, rencana kenaikan tarif PE menjadi 10% ini, menurut SPKS harus ditinjau kembali dan tidak dilakukan pemerintah, karena akan merugikan petani sawit dan pemerintah sendiri,” tandasnya.

SPKS menyarankan pemerintah membedah lebih dalam tentang industri biodiesel nasional. Termasuk penggunaan teknologinya, karena penggunaan dana BPDPKS yang terlalu besar hingga 90%. Melalui keterbukaan informasi dan keterlacakan bahan baku yang bersumber dari petani sawit, maka harga produksi biodiesel akan dapat ditelusuri lebih lanjut.

Dengan demikian model insentif (subsidi) biodiesel bisa dihitung kembali dan dibuat rumusan baru. “Pentingnya melibatkan TBS petani sawit sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel, akan menghemat biaya subsidi yang dikeluarkan pemerintah melalui BPDPKS, sehingga tidak perlu menaikkan tarif PE CPO,” ujarnya.

SPKS juga menyorot adanya kelemahan dalam pengelolaan yang dilakukan BPDPKS. Berdasarkan Laporan Semester I Tahun 2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya berbagai kelemahan dalam pengelolaan dana BPDPKS. Terutama dalam keberlanjutan dana insentif biodiesel, yang akan segera meningkat dari B35 menjadi B40 pada 1 Januari 2025.

Baca Juga

SPKS Percepat Sertifikasi ISPO Petani Sawit Swadaya di Sulawesi Barat

Berdasarkan definisi BPK, Insentif Biodiesel merupakan program yang diberikan untuk membantu menutup selisih harga antara biodiesel dan solar. Rincian kelemahan BPDPKS pada laporan BPK, juga dapat dilihat pada lampiran B3, yang berisi adanya jumlah temuan sebanyak 33 dengan jumlah permasalahan sebanyak 90 dan nilai temuan sebesar Rp14,6 Miliar. Sedangkan penggunaan dana BPDPKS sendiri, sebanyak 90% digunakan sebagai dana insentif biodiesel (sebagai subsidi pemerintah) dan dianggap melebihi dari ketentuan pemerintah.

SPKS menyerukan kepada para pemangku kepentingan penyelenggara negara, khususnya Kementerian Keuangan, untuk terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan yang ada, berdasarkan laporan BPK yang memberikan rekomendasi sejumlah 145. Termasuk melakukan penyesuaian terhadap besaran insentif biodiesel, berdasarkan ketentuan pemerintah yang berlaku.

(poe)

Read Entire Article
Aceh Book| Timur Page | | |