Foto: Bus Tahanan terlihat Berkarat
Surabaya, Timurpos.co.id – Kejaksaan Negeri Surabaya menjadi sorotan publik setelah seorang petugas keamanan internal bernama Sahrul diduga melarang seorang wartawan melakukan aktivitas jurnalistik di lingkungan kantor kejaksaan Negeri (kejari) Surabaya. Wartawan tersebut diketahui bernama Harifin, jurnalis dari media Online, yang saat itu hendak melakukan peliputan terkait adanya informasi P21 tahab II terhadap tersangka Bimas Nurcahya bin Tjipto Tranggono (alm).
Peristiwa itu terjadi ketika Harifin berada di area kantor Kejaksaan Negeri Surabaya untuk menjalankan tugas jurnalistiknya. Namun, aktivitas peliputan yang dilakukan justru dihentikan oleh petugas keamanan. Sahrul, selaku security kejaksaan, meminta wartawan tersebut untuk tidak melanjutkan liputan serta melarang pengambilan gambar maupun pengumpulan informasi di area yang dianggap berada dalam kewenangan internal kejaksaan.
Situasi sempat memanas ketika terjadi adu mulut antara wartawan dan pihak keamanan. Dalam insiden tersebut, Harifin juga diminta menunjukkan kartu identitas pers atau id card oleh petugas keamanan Kejaksaan Negeri Surabaya.
Dari pantauan awak media bus tahanan Kejari Surabaya juga terlihat berkarat untuk mengakut para tersangka ke Rumah Tahanan.
“Candra selaku Intelijen Kejaksaan Negeri Surabaya, bilang hanya diperbolehkan 2 orang saja yang ambil foto. Padahal ada sekitar 6 orang, ” Beber Haripin. Selasa (16/12).
Ia menambahkan selain itu Candra berjanji akan memberi foto para tersangka.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius, terutama di kalangan jurnalis, mengenai batasan kewenangan petugas keamanan terhadap kerja pers, khususnya di ruang publik yang berkaitan dengan pelayanan dan informasi hukum kepada masyarakat.
Larangan liputan ini memantik diskusi lebih luas tentang penghormatan terhadap kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, sepanjang dilakukan sesuai dengan kode etik jurnalistik dan ketentuan hukum yang berlaku.
Di sisi lain, lembaga penegak hukum juga memiliki prosedur pengamanan internal. Namun, pembatasan terhadap kerja jurnalistik dinilai perlu disertai dasar yang jelas, proporsional, serta disampaikan secara transparan agar tidak menimbulkan kesan penghalangan terhadap tugas pers.
Praktisi hukum Teguh Wibisono Santoso menegaskan bahwa pemerintah dan aparat pelaksana memiliki kewajiban utama dalam menyediakan informasi kepada publik, khususnya kepada insan pers.
“Pemerintah atau pelaksanaan itu adalah kita harus menyediakan informasinya. Masalah informasi mana yang mau diliput oleh wartawan mau apa itu kembalikan lagi kepada orang persnya. Artinya gini, bahwa kalau ada upaya untuk menghalangi ataupun ada upaya apapun yang tidak bisa memberikan transparansi, itu pasti akan menjadi persoalan dalam demokrasi. Tentang adanya informasi, masalah berita seperti apapun dihalangi adalah tidak boleh dihalangi,” ujarnya.
Menurut Teguh, aparat negara seharusnya tidak menunjukkan sikap arogansi dalam berinteraksi dengan media, melainkan mengedepankan prinsip melayani.
“Yang kedua, harus aparatnya yang memberikan fasilitas, kepada media. Gimana kita bisa mendapatkan akses informasi itu sebebas-bebasnya. Jadi kalau saya ngomong jangan sifatnya seperti arogansi seperti itu, tetapi lebih kepada server leadership, melayani. Artinya kalian adalah aparat, kalian yang melayani, kalian yang menyediakan, dan bahkan kalau perlu kalian yang mengundang kita untuk mendapatkan seluruh informasi tersebut,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa setiap bentuk pembatasan atau pengaburan informasi justru akan memunculkan kecurigaan publik.
“Kalau menurut saya ada upaya seperti mengecoh, membatasi, dan sebagainya, ini ada upaya apa untuk menghalangi, itu akan menjadi tanda tanya besar bagi publik,” kata Teguh.
Lebih jauh, Teguh menekankan bahwa penyediaan informasi seharusnya bersifat proaktif, bukan sebaliknya.
“Di dalam informasi tersebut seharusnya pemerintah yang menyediakan informasi, bukan kita yang harus mencari dulu. Bila perlu masalah foto dan sebagainya sudah ditempel, informasi sudah disampaikan resmi. Jadi kita tidak perlu datang ke sana untuk mencari, tapi dari aparatur pemerintah sudah menyediakan informasi tersebut yang bisa kita akses secara bebas,” pungkasnya.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi secara lengkap dari pihak Kejaksaan Negeri Surabaya terkait kronologi kejadian maupun dasar kebijakan yang melatarbelakangi pelarangan liputan tersebut. Publik dan insan pers masih menantikan klarifikasi terbuka dari pihak kejaksaan guna memastikan bahwa hubungan antara institusi penegak hukum dan media tetap berjalan dalam koridor saling menghormati, transparan, dan sesuai dengan prinsip negara hukum.
Peristiwa ini diharapkan menjadi bahan evaluasi bersama agar ke depan tidak terjadi lagi gesekan antara aparat keamanan institusi negara dengan wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik demi kepentingan informasi publik. Tok
Jumlah Pengunjung 129

2 days ago
12
















































