Foto : Yokubus Welianto, SH, MH
Surabaya, Timurpos.co.id – Praktik penegakan hukum di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali disorot karena dinilai sering menyimpang dari prinsip proporsionalitas. Sejumlah keputusan bisnis yang secara sah diambil oleh pejabat BUMN kerap diperlakukan sebagai tindak pidana korupsi, meski tidak mengandung unsur mens rea atau niat jahat.
Hal tersebut disampaikan oleh Yakobus Welianto, SH, MH, Direktur Law Office Welly And Panthers sekaligus praktisi hukum yang menegaskan bahwa berbagai temuan dalam kajian kebijakan terbaru menunjukkan maraknya over-kriminalisasi kebijakan bisnis di BUMN. Menurutnya, kondisi ini menimbulkan tekanan psikologis serius bagi para direksi dan komisaris karena mereka semakin enggan mengambil keputusan strategis yang berisiko bagi perkembangan perusahaan.
“Banyak keputusan yang sudah melalui tata kelola dengan benar dan mengikuti prinsip kehati-hatian tetap dipersoalkan aparat hanya karena menimbulkan potensi kerugian ekonomi,” demikian tertulis dalam ringkasan eksekutif kajian tersebut,” katanya. Rabu (26/11).
Dalam kajian itu, tiga persoalan utama dinilai menjadi pemicu kriminalisasi. Batas antara kerugian ekonomi dan kerugian negara disebut masih kabur sehingga mudah menimbulkan salah tafsir. Selain itu, Business Judgment Rule belum sepenuhnya diakui sebagai dasar pembelaan dalam perkara korupsi, sementara perlindungan hukum terhadap pejabat BUMN yang bertindak dengan itikad baik masih dinilai lemah.
Padahal, sejumlah regulasi telah memberikan batasan yang jelas, mulai dari Pasal 97 ayat (5) UU Perseroan Terbatas, Pasal 2 ayat (1) UU BUMN, hingga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XI/2013 yang menegaskan pemisahan kekayaan BUMN dari keuangan negara.
“Kajian tersebut juga menegaskan pentingnya penerapan asas ultimum remedium, lex specialis, serta prinsip mens rea untuk mencegah penyimpangan dalam proses hukum,” terang Yakobus.
Ia menyebut bahwa maraknya over-kriminalisasi telah menghambat penerapan Good Corporate Governance. Kondisi tersebut membuat proyek strategis rawan terhenti, sekaligus memicu kekhawatiran investor terhadap kepastian hukum di Indonesia.
“Stagnasi investasi BUMN berpotensi menimbulkan kekacauan kepastian hukum dan mengganggu stabilitas ekonomi nasional,” bebernya.
Laporan kajian tersebut kemudian mengajukan sejumlah langkah antisipatif. Penguatan norma hukum melalui penerapan risk assessment sebelum kebijakan strategis ditetapkan dinilai sangat dibutuhkan. Selain itu, koordinasi antara Kementerian BUMN, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian diharapkan dapat menciptakan keselarasan dalam memahami risiko bisnis. Reformasi audit di BPK dan BPKP juga dianggap mendesak agar mampu membedakan kerugian ekonomis dan kerugian hukum secara tegas. Dokumentasi business judgment disebut penting untuk menjadi standar dalam setiap pengambilan kebijakan korporasi.
“Revisi UU Tipikor dan UU BUMN juga diusulkan sebagai langkah mendesak. Selain itu, diperlukan peningkatan pemahaman aparat hukum mengenai risiko dan dinamika bisnis,” tutupnya.
Ia menegaskan bahwa ruang gerak direksi dalam mengambil keputusan bisnis sejatinya telah memiliki payung hukum yang jelas. Ditambahkan bahwa policy direktur yang notabene mendapat persetujuan dari RUPS sepanjang tidak melakukan fraud, berkolusi atau “pemufakatan jahat”, serta dijalankan secara prosedural dengan melibatkan KJPP atau tim appraisal yang independen dan memiliki integritas, seharusnya tidak boleh menjadi dasar kriminalisasi terhadap kebijakan korporasi. Menurutnya, risiko bisnis jangan diperlakukan sebagai tindak pidana selama seluruh langkah telah mengikuti prinsip kehati-hatian dan mekanisme tata kelola yang benar.
“Sayangnya, UU BUMN Nomor 16 Tahun 2025 masih belum menyentuh secara tegas aspek kerugian maupun keuntungan BUMN yang telah dipisahkan dari keuangan negara. Padahal, kejelasan pengaturan pada poin tersebut sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum bagi para pengambil kebijakan di lingkungan BUMN.” tutupnya
Kajian tersebut menegaskan bahwa keputusan bisnis yang rasional, wajar, dan dilakukan dengan itikad baik tidak selayaknya dipidana. Sinkronisasi aturan dalam UU Tipikor, UU BUMN, dan UU Perseroan Terbatas dinilai menjadi kunci agar penegakan hukum tetap berada pada koridor kemanfaatan dan kepastian hukum, tanpa menghambat tata kelola korporasi yang sehat. Tok
Jumlah Pengunjung 35

1 week ago
34
















































