Foto: Yakobus Welianto, S.H., M.Hum.,
Surabaya, Timurpos.co.id – Sengketa korporasi yang berujung pada pelaporan pidana bukanlah hal baru dalam praktik perseroan terbatas di Indonesia. Namun, persoalan menjadi semakin kompleks ketika perkara perdata telah diputus secara final dan berkekuatan hukum tetap (inkracht), sementara proses pidana justru tetap dilanjutkan dengan menggunakan peristiwa hukum dan alat bukti yang sama.
Kondisi tersebut dinilai menimbulkan pertanyaan serius terkait konsistensi penegakan hukum serta komitmen aparat penegak hukum terhadap asas kepastian hukum dan prinsip due process of law.
Pandangan itu disampaikan oleh Yakobus Welianto, S.H., M.Hum., mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum DIH PSDKU Jakarta. Ia menyoroti praktik penyidikan pidana yang tetap berjalan meskipun sengketa korporasi terkait telah diselesaikan melalui jalur perdata dan diputus inkracht.
Yakobus menjelaskan, kasus yang dikritisinya melibatkan Direktur Utama periode 2016–2020 yang sebelumnya telah dimintai pertanggungjawaban melalui mekanisme internal perusahaan, termasuk Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Investasi perusahaan pada PT Narada yang kemudian mengalami gagal bayar, menurutnya, merupakan risiko bisnis yang berada dalam koridor business judgment rule.
Dalam putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap, pengadilan menegaskan bahwa pengembalian dana selama masa jabatan direktur lama dilakukan dengan itikad baik. Pengadilan juga menyatakan kegagalan investasi tersebut sebagai risiko bisnis yang tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum maupun penggelapan. Bahkan, RUPS tahun 2023 yang dijalankan oleh direktur baru dinyatakan tidak sah secara hukum.
Meski demikian, direktur periode 2023 tetap menempuh jalur pidana dengan dasar yang sama, yakni status Non Acquit et de Charge. Proses tersebut berujung pada penetapan tersangka oleh Polda Jawa Timur. Namun, penetapan itu sempat dibatalkan melalui putusan praperadilan karena dinilai cacat prosedur.
Ironisnya, penyidikan kembali dilakukan dengan menggunakan alat bukti lama tanpa adanya pembaruan, serta dinilai mengabaikan putusan perdata yang telah inkracht.
Menurut Yakobus, langkah penyidikan ulang tersebut bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang secara tegas melarang penyidikan ulang tanpa adanya bukti baru.
Ia menilai tindakan tersebut berpotensi menjadi bentuk abuse of process serta kriminalisasi terhadap sengketa bisnis internal yang seharusnya diselesaikan dalam ranah hukum perdata.
Ditinjau dari asas ultimum remedium dan teori due process model yang dikemukakan Herbert Packer, penggunaan hukum pidana dalam perkara ini dinilai tidak proporsional dan cenderung represif.
Atas dasar itu, Yakobus merekomendasikan sejumlah langkah hukum, antara lain pengajuan praperadilan kembali, permohonan penghentian penyidikan, pelaporan ke Divisi Propam Polri dan Kompolnas, serta permintaan gelar perkara khusus. Langkah-langkah tersebut dinilai penting agar perkara dapat ditinjau ulang secara objektif sebagai sengketa korporasi yang sejatinya telah selesai di ranah perdata.
Ia juga mendorong aparat penegak hukum untuk menjadikan putusan perdata yang telah inkracht sebagai pijakan utama dalam menilai laporan pidana yang masih berjalan.
“Penghentian penyidikan perlu dipertimbangkan apabila unsur pidana tidak terpenuhi. Hal ini penting demi menjaga marwah hukum, melindungi hak para pihak, serta memastikan penegakan hukum berjalan sesuai asas kepastian hukum dan due process of law,” pungkas Yakobus. Tok
membuat lead lebih tajam, atau
merangkum versi rilis singkat 3–4 paragraf untuk portal online.
Jumlah Pengunjung 25

1 day ago
14
















































